Permohonan SKPLB PPh Badan Tahun Pajak 2020 yang diajukan PT CSI menegaskan hak Wajib Pajak untuk mengkreditkan Pajak Penghasilan yang telah dipungut atau dibayar di muka sesuai dengan ketentuan Undang-Undang PPh. PT CSI merupakan Perusahaan yang bergerak dalam bidang jasa geofisika yang kegiatannya antara lain berupa perolehan data kelautan dan multi-fisika, hingga penjualan perangkat lunak dan provisi perangkat lunak kepada klien. Dalam sengketa ini, DJP melakukan koreksi atas peredaran usaha PT CSI sebesar USD357.828,00 yang dihitung melalui pengujian ekualisasi dengan DPP Penyerahan PPN. Akun Unbilled Receivable – Invoiceable tidak dimasukkan dalam perhitungan peredaran usaha karena, berdasarkan Berita Acara Pembahasan Keberatan (BAPK) antara PT CSI dan Tim Pemeriksa, akun tersebut tidak berkaitan langsung dengan penerbitan faktur pajak maupun pengakuan pendapatan. Oleh karena itu, selisih kurs atas akun Unbilled Receivable – Invoiceable tidak diperhitungkan dalam penyesuaian/adjustments.
Untuk komponen penjualan, DJP melakukan perhitungan selisih kurs sebesar USD59.832,00 dengan menggunakan perbedaan antara kurs KMK dan kurs global internal perusahaan. Sementara itu, untuk komponen Deferred Income, DJP menghitung selisih kurs sebesar USD66.195,00. Kedua nilai selisih kurs tersebut telah dikonfirmasi oleh PT CSI.
Selama proses keberatan, DJP menilai bahwa alasan keberatan yang diajukan PT CSI belum meyakinkan. Hal ini disebabkan PT CSI hanya menyampaikan data berupa tabel selisih kurs atas akun Deferred Income dan Unbilled Revenue – Percentage of Completion tanpa disertai perhitungan rinci atas revaluasi akun tersebut. Selain itu, DJP menemukan adanya inkonsistensi dalam penggunaan nilai selisih kurs, yaitu antara kurs KMK dan kurs global internal PT CSI pada akun penjualan, serta antara kurs KMK dan kurs global PT CSI pada akun Deferred Income.
PT CSI tidak menyetujui koreksi yang dilakukan oleh DJP. Salah satu argumen yang disampaikan adalah terkait perbedaan selisih kurs antara kurs global internal PT CSI dan kurs tengah Bank Indonesia sebesar USD63.049,86. Menurut PT CSI, selisih tersebut timbul karena DJP menghitung nilai DPP PPN dalam Rupiah berdasarkan Faktur Pajak dengan tagihan (invoice) dalam USD, kemudian mengonversikannya kembali ke USD menggunakan kurs tengah Bank Indonesia. Sementara itu, PT CSI mencatat transaksi dalam USD sesuai dengan nilai tagihan yang diterbitkan kepada klien.
Perbedaan juga muncul dalam penentuan dasar nilai DPP PPN Rupiah. DJP merujuk pada Faktur Pajak atas tagihan dalam Rupiah, kemudian mengonversikannya ke USD menggunakan kurs tengah BI. Sebaliknya, PT CSI menggunakan nilai USD ekuivalen yang secara otomatis mengacu pada kurs internal perusahaan sebagaimana tercatat dalam General Ledger (GL).
Selain itu, PT CSI menyanggah pernyataan DJP yang menyebutkan bahwa perusahaan tidak menyampaikan tabel perhitungan hasil revaluasi selisih kurs atas akun Deferred Income dan Unbilled Revenue – Percentage of Completion. PT CSI menegaskan bahwa perhitungan tersebut telah disampaikan dalam lampiran tanggapan atas Surat Pemberitahuan Daftar Hasil Penelitian Keberatan serta Surat Pemberitahuan untuk Hadir (SPUH). Berdasarkan Pasal 15 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 9/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Pengajuan dan Penyelesaian Keberatan, SPUH dan Daftar Hasil Penelitian Keberatan merupakan bagian dari rangkaian proses keberatan. Dengan demikian, pendapat DJP bahwa PT CSI tidak memberikan perhitungan revaluasi tersebut dinilai tidak tepat, karena dokumen tersebut telah disampaikan dalam tanggapan SPUH.
Lebih lanjut, PT CSI juga membantah pernyataan DJP mengenai adanya inkonsistensi dalam penggunaan nilai selisih kurs. Berdasarkan hasil perhitungan ulang yang dilakukan PT CSI atas ekualisasi peredaran usaha dengan DPP SPT Masa PPN Tahun Pajak 2020, diperoleh hasil yang konsisten, yakni kesesuaian antara peredaran usaha dengan DPP SPT Masa PPN baik pada saat pengajuan keberatan maupun saat permohonan banding.
Berdasarkan pertimbangan hukum Majelis Hakim dan setelah meneliti seluruh bukti yang diajukan baik oleh DJP maupun PT CSI, Majelis berpendapat bahwa penghitungan ekualisasi peredaran usaha dengan DPP PPN yang dilakukan oleh DJP tidak mempertimbangkan sistem pencatatan peredaran usaha yang diterapkan oleh PT CSI. Sebaliknya, penjelasan dan penghitungan ekualisasi yang disampaikan oleh PT CSI dinilai telah sesuai dengan sistem pencatatan internal perusahaan serta didukung oleh bukti-bukti pencatatan yang memadai.
Dengan demikian, Majelis menilai bahwa PT CSI berhasil membuktikan kebenaran penghitungan ekualisasi antara peredaran usaha dan DPP PPN sebagaimana seharusnya. Atas dasar itu, banding yang diajukan oleh PT CSI sebesar USD 357.828,03 dikabulkan seluruhnya.
Putusan ini menegaskan pentingnya konsistensi dan transparansi dalam sistem pencatatan peredaran usaha, khususnya bagi Wajib Pajak yang melakukan transaksi dalam mata uang asing. Majelis Hakim memutuskan untuk mengabulkan seluruh permohonan banding PT CSI setelah menilai bahwa metode penghitungan ekualisasi peredaran usaha dengan DPP PPN yang dilakukan oleh PT CSI telah sesuai dengan sistem pencatatan internal dan didukung bukti yang kuat. Sebaliknya, perhitungan DJP dianggap tidak mempertimbangkan karakteristik sistem pencatatan PT CSI.
Putusan ini memberikan pelajaran penting bahwa dalam sengketa perpajakan, keakuratan data, kelengkapan bukti pendukung, dan konsistensi penerapan kurs serta metode pencatatan menjadi faktor penentu dalam pembuktian. Selain itu, kasus ini menunjukkan bahwa Majelis Hakim lebih mengutamakan pembuktian substantif daripada semata-mata formalitas administratif apabila Wajib Pajak mampu menunjukkan dasar penghitungan yang valid dan dapat dipertanggungjawabkan.
Analisa Komprehensif dan Putusan Pengadilan Pajak atas Sengketa Ini Tersedia di sini